Menikah itu Pilihan, Mencintai itu Takdir
Dulu cinta itu beralasan. “Kenapa kamu cinta padaku?” kata si perempuan. Si lelaki menjawab, “Karena kamu baik, nyambung diajak ngobrol, buat aku nyaman, ditambah lagi paras kamu cantik.” Si perempuan tersipu-sipu mendengar rayuan si lelaki. Tetapi sekarang rayuan semacam itu sudah tidak berlaku.
Cinta saat ini tidak boleh beralasan. “Kalau kamu bisa menjelaskan mengapa kamu cinta dia, maka itu bukan cinta!” demikian kata Sujiwo Tedjo. Begitu juga pesan yang tersirat di dalam lagu d’Massive berjudul Natural.
Dua pendapat tersebut sebenarnya sama-sama bermasalah. Pendapat pertama memberikan kesan bahwa cinta melulu merupakan akibat dari sebab-sebab tertentu, seperti sifat baik, kenyamanan, kecantikan, kekayaan, keturunan, agama, dst. Jadi, pendapat pertama berimplikasi bahwa cinta datang setelah tersedianya sebab-sebab tersebut. Sebagaimana hukum kausalitas (sebab-akibat), akibat selalu datang belakangan setelah sebab.
Pendapat kedua menghilangkan sama sekali alasan di dalam cinta. Tetapi jika demikian bagaimana menjelaskan mengapa si Hadi cinta si Azka, bukan si Nur, bukan pula si Fauzia? Jika cinta murni tanpa sebab/alasan, maka seharusnya Hadi cinta kepada semua orang dengan kadar yang sama. Jadi pendapat kedua ini tidak sesuai dengan kenyataan.
Jika diteliti lagi, sebenarnya cinta itu punya alasan. Dan, alasan tersebut sangat sangat sangat (3x) kompleks. Saking kompleksnya, orang tidak dapat mendeskripsikannya. Oleh karena kendala ini, maka kebanyakan memilih jalan pintas, yakni dengan mengatakan bahwa cinta tidak beralasan. Tetapi sebenarnya ada banyak sekali alasan di belakang cinta.
Alasan tersebut bisa objektif (bisa diverifikasi oleh orang lain) bisa juga subjektif (tidak bisa diverifikasi oleh orang lain karena hanya mengandalkan perasaan pribadi). Alasan objektif itu seperti kekayaan, popularitas, silsilah keluarga, agama, suku bangsa, dst. Sementara, subjektif itu seperti kecantikan, daya tarik seksual, kenyamanan, budi pekerti, inner beauty, pesona, dst. Dari keduanya, yang mendominasi adalah alasan subjektif.
Seorang perempuan bertanya kepada lelakinya, “Kamu cinta saya karena nafsu (baca: daya tarik seksual) ya?” Kemudian lelaki menjawab dengan berpura-pura, “Tidak kok, aku cinta kamu bukan karena nafsu.” Bisa dipastikan bahwa sebenarnya lelaki itu berbohong.
Musabab cinta itu sangat banyak, salah satunya adalah daya tarik seksual. Meskipun bukan satu-satunya, tetapi faktor hasrat seksual tidak bisa diabaikan. Menarik jika nanti ada peneliti yang berusaha mengungkap sejak kapan hasrat seksual dianggap sebagai sesuatu yang kotor, sehingga tidak pantas disebutkan sebagai (salah satu) alasan orang jatuh cinta.
Cinta itu bersifat liar. Ia tidak bisa dibatasi. Seseorang bisa jatuh cinta ke lebih dari satu lawan jenisnya. Bahkan bagi orang yang sudah menikah sekalipun. Pernikahan tidak bisa membatasi gerak liar cinta. Jangan dikira jika Hadi telah menikah dengan Azka maka cinta keduanya tidak bisa mengarah ke orang lain.
Cinta adalah wilayah rasa yang sangat subjektif, sehingga tidak bisa dikendalikan dengan cara apa pun, termasuk pernikahan. Mengapa orang bisa selingkuh padahal sudah berumah tangga? Itu membuktikan bahwa pernikahan tidak dapat menghentikan sifat liar dari cinta.
Lalu adakah yang dinamakan cinta sejati? Cinta sejati bukanlah cinta yang hanya untuk pasangan kita saja. Kita sendiri tidak dapat mengendalikan ke mana cinta ini harus diarahkan. Menikah itu pilihan, tetapi mencintai itu takdir. Kita bisa memilih menikah dengan siapa, tetapi kita tidak bisa memilih siapa yang ingin kita cintai.
Jika saja cinta itu bisa memilih, maka tentu kita pilih saja cinta kepada teman dekat yang sudah sama-sama kenal, atau mencintai tetangga rumah sehingga menghemat biaya pernikahan, atau bisa juga hanya mencintai istri/suami kita seorang sehingga menutup pintu perselingkuhan.
Orang yang punya cinta sejati bisa saja mencintai kepada lebih dari satu orang, tetapi dengan kedewasaannya ia memilih satu orang saja yang ia cintai untuk dijadikan teman hidup dalam suka dan duka, senang dan susah. Ia sebenarnya jatuh cinta dengan orang lain (selain pasangannya) tetapi ia memilih untuk tidak menindaklanjuti rasa cinta tersebut sehingga ia menjadi pribadi yang setiap.
Setia itu berarti ia punya kesempatan untuk selingkuh tetapi ia memilih untuk tidak selingkuh. Jika orang tidak selingkuh karena memang ia tidak punya kesempatan, maka tidak bisa dikatakan sebagai pribadi yang setia.
Pernikahan adalah tindakan dewasa karena membutuhkan sikap kerelaan untuk tidak menindaklanjuti rasa cinta yang ada kepada selain pasangannya. Kedewasaan memang ditandai dengan berkurangnya intensitas kebebasan. Anak kecil bisa bebas melakukan apa saja, semaunya, tanpa perlu mempertimbangkan norma sosial. Tetapi, bagi orang dewasa, ia menyesuaikan perilaku dengan norma dan aturan lain yang ada.
Pernikahan itu untuk membatasi, bukan untuk membebaskan. Justru karena sifatnya yang membatasi tersebutlah maka pernikahan membutuhkan kedewasaan.
Komentar
Posting Komentar