Darwin dan Psikologi
Tepat pada hari ini, 208 tahun yang lalu, Charles Robert
Darwin dilahirkan. Berjalan di atas bumi sekitar 73 tahun, menelurkan beberapa
karya yang mengubah pandangan dunia, selamanya.
Darwin biasa ia dikenal, menggegerkan dunia dengan karyanya yang
fenomenal, The Origin of Species, sebuah buku yang diklaim sebagai buku
akademik paling berpengaruh sepanjang sejarah oleh Guardian. Dalam bukunya itu,
Darwin menawarkan sebuah pandangan baru tentang penciptaan, yaitu evolusi
melalui seleksi alam.
Pandangannya yang kontroversial saat itu (bahkan, hingga saat ini bagi
beberapa orang ortodoks) menggoyang fondasi dasar keimanan yang mempercayai
bahwa semua makhluk yang ada saat ini merupakan ciptaan Tuhan yang begitu
adanya.
Dari kalangan agamawan hingga ilmuwan mengkritik habis-habisan pandangan
Darwin saat pertama kali dicetuskan. Teori evolusi Darwin memang tidak
sempurna, tetapi setelah bergabung dengan bidang genetika oleh Gregor Mendel,
keduanya menjadi pilar yang sangat kokoh dalam teori evolusi modern.
Seiring berjalannya waktu, bukti-bukti dari berbagai bidang membenarkan
teori evolusi Darwin, sebut saja biologi, paleontologi, geologi, genetika,
sosiologi, antropologi, dan berbagai disiplin ilmiah lainnya.
Pada akhirnya, hampir (jika tidak ingin dikatakan semua) ilmuwan
mengukuhkan teori evolusi. Bukti-buktinya sangat jelas. Teori evolusi
mengukuhkan dirinya sebagai primadona di dunai sains, khususnya ilmu sosial.
Pertentangan tetap datang dari kalangan agamawan, khususnya agama Samawi.
Karena bagi yang memahami agama secara ortodoks, teori evolusi jelas-jelas
menggerogoti ajaran tentang penciptaan Adam.
Jika ingin jujur, hampir seluruh gagasan ilmu-ilmu sosial modern seperti
sosiologi, antropologi, bahkan psikologi berangkat dari asumsi dasar teori
evolusi melalui seleksi alam yang dicetuskan Charles Darwin. Saya pikir, hanya
mereka yang picik yang kesulitan menerima fakta Darwinian ini. Tulisan ini
berusaha sedikit mengupas tentang pengaruh teori evolusi dengan Psikologi. God
Bless, Darwin
atas jasanya dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Pengaruh Darwin dalam Psikologi
Jika psikologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang jiwa
manusia atau apapun tentang manusia, sepertinya sulit melacak pemikiran
psikologi pada masa lampau. Sudah pasti sejak manusia mampu berpikir logis dan
memiliki kesadaran, ia sudah bertanya tentang hakikat manusia. Kajian psikologi
yang paing lampau, yang berhasil saya temui berkisar dari 500-400an SM.
Kita akrab dengan istilah kepribadian sanguinis, koleris, melankolis,
dan plegmatis yang sejatinya dicetuskan Hippokrates sekitar tahun 400an
SM. Walaupun keabsahan ilmiahnya dipertanyakan, tetapi tipologi kepribadian
Hippokrates tersebut masih marak digunakan hingga saat ini.
Sebenarnya, penjalasan Siddharta Gautama tentang psikologi dengan jauh
lebih komplit dari Hippokrates, tapi India bukan pemenang perang, tak heran
teorinya kalah populer dibanding Hippokrates yang dari Yunani.
Sejak era itu, banyak sekali teori tentang manusia yang dicetuskan
pemikir-pemikir hebat dari era Yunani kuno seperti Plato dan Aristoteles, ke
era keemasan Islam seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, hingga ke era renaisans dan
pencerahan seperti Rene Descartes, Joch Locke, dan Nietzsche.
Masih banyak tokoh lain yang memaparkan teori psikologi dari masing-masing
era, tetapi psikologi modern menjadi disiplin mandiri setelah Bapak Psikologi,
Wilhelm Wundt mendirikan laboratorium di Leipzig pada tahun 1879.
Setelah itu, psikologi di Eropa dipopulerkan oleh pemikir besar Sigmund
Freud yang pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Darwin. Jika diperhatikan,
insting seksual yang menjadi dorongan terbesar dalam psikoanalisis Freud
sejalan dengan teori evolusi Darwin untuk bertahan hidup.
Di Amerika, ada Bapak Psikologi Eksperimental, William James yang juga
sangat dipengaruhi oleh Darwin. James banyak berbicara tentang insting, yang
menurutnya bertempat di sirkuit saraf yang tak lepas dari produk evolusi.
Darwin dalam The Origins of Species menuliskan prediksi yang
berani: “Di masa depan, saya melihat bidang-bidang terbuka bagi jauh lebih
banyak lagi penelitian. Psikologi akan didasarkan pada pondasi baru yang
memberikan setiap kekuatan dan kemampuan mental secara bertahap. Banyak titik
terang akan terungkap tentang asal-usul manusia dan sejarahnya” (Darwin, 2015;
470). Satu abad kemudian, ramalan Darwin makin mendekati penyingkapan.
Sayangnya, sebagian besar psikolog abad ke-20 lebih berfokus pada perilaku
dan penjelasan terdekatnya sehingga segala sesuatu yang bersifat abstrak jauh
ditinggalkan, termasuk pembahasan tentang evolusi. Behaviorisme, yang fokus
pada perilaku dan melepaskan pelaku perilaku (manusia) menjadi primadona yang
seksi kala itu.
Darwinisme semakin ditinggalkan dan mendapat kecaman setelah dijadikan
kendaraan politik sebagai pembenaran pemusnahan etnis, pemurnian ras, hingga
kebijakan egeneutika ala Nazi yang tidak manusiawi. Ya, Hitler keliru memahami
teori evolusi Darwin dan menganggap bahwa ras Arya merupakan puncak dari
evolusi manusia. Padahal, tidak ada kata final dalam evolusi. Setiap spesies
berevolusi berdasarkan seleksi alam pada lingkungannya
Darwin dan Psikologi
Psikologi yang mengadopsi pisau perspektif Darwin, dikenal dengan
psikologi evolusioner. Ia adalah sebuah pendekatan baru dalam disiplin
psikologi yang kira-kira berkembang pada tahun 80an, dikembangkan oleh pasangan
suami istri Cosmides dan Tooby dari University of’8 California.
Perkembangan psikologi evolusioner sangat dipengaruhi oleh perkembangan
pesat dalam disiplin neurosains dan kognitif yang memberikan pemahaman yang
lebih komprehensif tentang otak manusia.
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa otak merupakan pusat segala aktivitas
manusia, baik yang sadar (seperti gerak tubuh) maupun tidak (seperti detak
jantung). Setiap bagian otak tertentu (sirkuit) bertanggung jawab pada
aktivitas spesifik tertentu. Ada yang mengatur bagian bahasa, memori, logika,
sensori, dan lain sebagainya. Lalu, apa yang bertanggung jawab dalam
pembentukan otak? Ia adalah gen, yang secara turun temurun diwariskan melalui
reproduksi.
Singkatnya, jika otak dibentuk oleh gen yang diwariskan secara turun
temurun dan terus berevolusi sesuai seleksi, bukankah sangat memungkinkan
perilaku manusia (sebagai hasil aktivitas otak) juga sangat dipengaruhi oleh
evolusi?
Kita tidak ragu bahwa gen membentuk anatomi tubuh, tetapi ketika gen
diklaim bertanggung jawab pada perilaku? Rasa nyaman kita sebagai manusia yang
memiliki kehendak bebas sedikit terusik. Apakah kita bebas berperilaku? Atau
perilaku kita didikte oleh gen?
Entahlah, perlu tulisan sendiri untuk mengupas
masalah ini.
Psikolog evolusioner berusaha menjawab permasalah psikologis dengan
menggunakan perspektif evolusi. Berusaha mendamaikan pengaruh bawaan gen (nature)
dan pengaruh lingkungan (nurture) pada perilaku manusia. Tidak semua tindakan
dikendalikan gen, tapi tidak ada satu pun perilaku yang tidak melibatkan
sel otak. Psikologi, khususnya di Indonesia, sering kali mengabaikan fakta ini.
Tapi, untuk keperluan pragmatis, pemahaman teoritis macam ini memang tak perlu.
Psikologi evolusioner, bagi saya, memberikan penjelasan yang memuaskan
terhadap perilaku manusia. Contohnya, mengapa manusia sering tolong
menolong? Karena tujuan setiap makhluk hidup adalah bertahan hidup, maka tolong
menolong dikembangkan untuk dapat menambah peluang untuk hidup sesama spesies,
terutama makhluk yang hidup berkelompok. Tak ada makhluk sosial yang tidak
mengembangkan sikap tolong menolong antaranggota kelompoknya.
Lalu, mengapa pria cenderung melirik perempuan dari segi fisiknya? Karena,
pria secara tak sadar membutuhkan perempuan yang bugar secara fisik untuk dapat
merawat anak-anaknya. Kecantikan adalah mekanisme yang dikembangkan perempuan
untuk menunjukkan kebugaran fisiknya agar dapat dikawini, sebab perempuan juga
butuh untuk mewariskan gennya.
Perempuan juga melakukan seleksi, ia cenderung tertarik pada pria yang
memiliki status sosial yang tinggi, untuk dapat menjamin keberlangsungan
hidupnya dan anak-anaknya nanti. Seleksi seksual ala Darwin.
Mengapa sebagian kita secara naluriah lebih takut pada ular dibandingkan
bis? Padahal bis lebih banyak membunuh manusia dibandingkan ular saat ini?
Karena manusia mengetahui bahwa ular berbahaya sejak ratusan ribu tahun yang
lalu, sedangkan bis? Belum ada tiga abad. Penyimpanan memori genetik perlu
waktu lama. Primata lain juga memiliki rasa takut naluriah pada ular.
Bagi saya, psikologi evolusioner merupakan sebuah pendekatan dalam
psikologi yang memberikan jawaban yang sangat memuaskan terhadap mekanisme
psikologis manusia. Meskipun saat ini masih banyak sekali perdebatan di
kalangan ilmuwan tentang ini.
Tapi, ketika teori besar ilmu alam seperti gravitasi Newton dan
relativitas Einstein dapat menghasilkan teori besar lainnya yang mengungkapkan
rahasia alam yang lebih besar lagi. Mengapa ilmu sosial tidak berusaha
memecahkan persamaannya?
Saya kira, psikologi evolusioner memberikan fakta-fakta ilmiah pada
psikoanalisa yang dianggap terlalu abstrak. Mungkinkah alam bawah sadar Freud
atau ketidaksadaran kolektif Jung merupakan sebuah informasi yang dibawa oleh
gen melalui seleksi alam? Wallahu a'lam.
Komentar
Posting Komentar